Murah Sekali Harga Perasaan Manusia itu

Entah untuk yang ke berapa saya dikecewakan oleh maskapai ini. Untuk pulang dari PKU ke CGK Jumat ini, saya pesan tiket dari beberapa hari yang lalu. Jadwal pemberangkatan pukul 16.45.

Tiba-tiba, pada Jumat dini hari ada pemberitahuan dari maskapai bahwa penerbangan dialihkan menjadi pukul 18.50. “Sialan,” saya membatin.

Jam penerbangan yang saya pesan itu sudah sangat ideal. Jam pemberangkatan segitu, kalau kemudian nyambung dengan perjalanan darat ke Bandung, akan sampai di kota Parahyangan itu tak terlampau malam. Perkiraan masih di bawah pukul 23 akan tiba di pool travel.

Waktu masih berdinas di Jakarta, Jumat malam adalah waktu yang amat ditunggu oleh istri saya. Bersama si bungsu, ia semangat sekali menjemput suaminya. Lalu sambil ke arah pulang, mampir makan malam mie tek-tek.

Selama perjalanan dari jemputan dan sambil makan mie masakan khas pekalongan itu, kami saling berbaku canda. Pun bercerita banyak perihal. Saling melepas kangen. Eeaa…

Seperti itulah aktivitas kami, hampir setiap pekan selama lebih dari enam tahun. Sepasang makhluk bernama manusia berusia senja yang terpisah jarak.

Tidak. Saya tidak sedang mengeluh. Justru saya tengah pamer. Pamer kebahagiaan. Karena tak semua orang bisa menikmati kebahagian yang receh seperti itu. Yang kalau dinilai dengan uang, harga tiga piring mie itu tak lebih dari 50 ribu perak. Bahkan pasangan yang hidup se-homebase pun belum tentu bisa menikmati hal seperti itu atau semacamnya.

Namun, sejak berdinas di Pekanbaru, kebahagian yang amat sederhana itu tak bisa kami rasakan tiap pekan. Masih harus menunggu dua atau tiga pekan. Tak apalah. Bukankah kata Bang Haji Rhoma Irama, “semakin lama kita berpisah semakin mesra saat berjumpa”? Eeaa… (lagi)

Dan untuk Jumat ini, ketika tahu jam pemberangkatan dialihkan menjadi pukul 18.50, saya agak pesimis kami bisa merasakan kebahagiaan menikmati mie tek-tek. Bisa-bisa sampai Bandung di atas pukul 24. Kasian istri saya dan si bungsu keburu ngantuk. Dan tukang mie tek-teknya pun kemungkinan sudah tutup.

Namun itu belum seberapa kecewanya saya terhadap maskapai ini. Sampai jam menunjukkan waktu sesuai jadwal alihan itu, belum ada tanda-tanda boarding. Hingga kemudian, ada pemberitahuan bahwa pemberangkatan mengalami keterlambatan. “Akan diberangkatkan kira-kira pada pukul 20.00,” begitu bunyi pelantang di ruang tunggu bandara.

Ini sudah keterlaluan. Tak bisa dibiarkan. Saya harus melakukan sesuatu. Selama ini saya dan juga penumpang lain diam saja. Tak ada yang melawan. Sehingga maskapai ini semakin seenaknya.

Rasa kecewa ratusan penumpang yang sudah menunggu berjam-jam biasanya cukup diganti dengan makanan ringan. Tak sampai 20 ribu perak harga kedua snack itu. Murah sekali perasaan manusia ini dihargai.

Ini bukan soal harus bersabar atau tidak. Ini kesabaran yang bukan pada tempatnya. Kesabaran yang diajarkan oleh agama adalah atas hal yang di luar kuasa kita. Bukan atas kesewenang-wenangan oleh sekelompok manusia terhadap manusia liyan.

Maka kali ini, saya tak akan diam. Dan inilah yang terjadi.

Ketika makanan pengganti delay itu dibagikan, saya terima tapi kemudian saya banting ke lantai. Lalu saya injak-injak sambil teriak lantang, “Saya tak sudi menerima ini. Kalian sudah sangat mengecewakan kami. Mau sampai kapan kalian memperlakukan kami seperti ini?”

Para calon penumpang yang lain terpana melihat kejadian ini. Sebagian ada yang merekam adegan yang saya lakukan dengan kamera handphone. “Biar saja, biar viral” saya membatin. Bukankah selama ini kalau protes dengan cara viral baru akan berefek?

Namun sayangnya, adegan yang saya ceritakan itu hanya ada di angan-angan. Saya tak berani melakukannya. Dan dua makanan ringan penebus perasaan kecewanya manusia itu pun sudah saya santap, alih-alih saya injak-injak.

Saya memang pecundang.

Tol Jakarta – Cikampek, dini hari 3 Februari 2024

Tinggalkan komentar