Dulu Menjunjung Sekarang Merundung

Pada Pilpres 2014, saya fanatik sekali terhadap salah satu pasangan Capres-Cawapres. Kepada anak dan istri, saya mendoktrinnya untuk memilih pasangan itu. Dengan kawan karib, saya kerap berantem di medsos gara-gara beda pilihan.

Sementara pada Pilpres 2019, saya sudah mulai tak tertarik dengan perbedaan pilihan. Saya tak mengarahkan anak dan istri untuk memilih pasangan yang mana. Apatah lagi mendoktrinnya. Yang terjadi adalah, istri memilih pasangan yang itu, saya pilih yang satunya.

Tentu saja saya punya alasan mengambil sikap demikian. Bagi saya, masing-masing punya kelemahan, sekaligus juga punya kelebihan. Masing-masing pasangan Capres-Cawapres berpeluang mengecewakan sekaligus memuaskan jika nantinya terpilih.

Akibat sikap yang agak ke tengah ini, di medsos saya banyak dimusuhi oleh teman-teman yang awalnya sekubu dengan saya pada pilpres 2014. Mereka meng-unfriend saya di FB. Padahal kedua capres yang pada 2014 dan 2019 berseberangan, sekarang berpelukan mesra sekali.

Menurut saya, ini bukan soal keberpihakan kepada si baik dan si buruk sebagaimana Nabi Musa dan Raja Firaun. Atau nabi Ibrahim dan Raja Namrud. Bukan pula sebagaimana malaikat dan iblis. Semua pasangan calon merupakan manusia-manusia pada galibnya. Punya sisi baik. Pun punya sisi buruk.

Yang terpenting dari semuanya, nantinya setiap warga negara dapat menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinannya dengan aman dan nyaman.

Pada Pilpres 2024 ini ada tiga pasangan calon. Kebetulan si bungsu sebagai new voter kali ini. Maka kami bertiga memilih tiga pasangan calon yang berbeda. S̶a̶y̶a̶ ̶m̶e̶n̶g̶a̶n̶g̶g̶a̶p̶,̶ ̶p̶o̶l̶i̶t̶i̶k̶ ̶i̶n̶i̶ ̶s̶e̶b̶a̶g̶a̶i̶ ̶l̶u̶c̶u̶-̶l̶u̶c̶u̶a̶n̶ ̶s̶a̶j̶a̶.̶

Politik memang terkadang lucu. Selucu orang-orang yang dulu menjunjung dan memuja-muji terhadap calon nganu, sekarang merundung dan mencaci-makinya.

Bandara Soetta, 14 Februari 2024

Tinggalkan komentar