Ketika Saya Dikatai Idiot

Saya tak terlalu suka sepak bola. Tak suka nonton, apatah lagi bermain. Seingat saya, terakhir kali bermain olahraga kesebelasan itu pada saat saya masih duduk di kelas satu SMEA.

Waktu itu pelajaran olahraga. Kami bermain sepak bola di lapangan tak jauh dari gedung sekolah. Saya menjadi penjaga gawang. Bola meluncur pelan dari kaki lawan, menuju jauh ke samping gawang.

Saya tergopoh-gopoh lari mengejarnya. Berusaha menangkap agar tak keluar lapangan. Sialnya, bola itu tak dapat saya tangkap. Tapi sempat menyentuh tangan saya.

Tentu sahaja saya menjadi bahan olok-olokan oleh pemain selapangan. Kenapa mesti saya kejar dan berusaha menangkapnya. Harusnya saya biarkan saja. Kalau keluar lapangan kan berarti bola menjadi milik keeper. Milik saya.

“Dasar idiot…” teriak kawan setim, diikuti pemain lain, sembari siap-siap menahan tendangan sudut oleh pemain lawan.

Sejak saat itu, saya tak pernah lagi mau bermain sepak bola. Setiap ada pelajaran olahraga, saya selalu berusaha menghindar bermain olahraga yang berasal dari Tiongkok itu.

Saya bermain kucing-kucingan dengan guru olahraga agar tak disuruh main sepak bola. Guru ke sana, saya ke sini, dan sebaliknya. Terus saja begitu. Namun sepandai-sepandainya tupai melompat, akan jatuh juga. Saya kepergok dengan guru itu. Kepala saya kena toyor. Saya dipaksa bermain sepak bola. Saya bergeming.

Namun begitu, sekali dua, saya masih mau menonton pertandingan sepak bola. Baik secara langsung di stadion, maupun di TV.

Satu-satu alasan saya mau menonton sepak bola, adalah karena nasionalisme. Yakni kalau timnas Indonesia berlaga. Termasuk malam ini, barusan saja, saat timnas kebanggaan kita melawan timnas Irak dalam Piala Asia.

Namun, sepanjang pertandingan, rasa bangga terhadap timnas negara sendiri sedikit berkurang manakala menyadari terdapat banyak pemain naturalisasi di tim kita. Total ada tujuh pemain dari negara asing itu yang memperkuat timnas Indonesia.

Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2022 sebesar 275.773.800 jiwa. Jumlah itu belum termasuk Musa Muzammil Al Ghifari, cucu saya yang lahir pada tahun 2023. Hanya untuk mencari sebelas pemain saja masih harus mengadopsi pemain dari negara lain.

Begitu pun masih kalah, 1-3 hasil akhir melawan Irak. Namun demikian, saya masih bangga dengan Asnawi dan kawan-kawan yang telah berjuang dan berjibaku menahan gempuran tim lawan yang memang dalam semua hal lebih unggul.

Masih ada dua pertandingan lagi di fase penyisihan. Melawan Jepang dan Vietnam. Masih ada harapan timnas kita bisa lolos menuju 16 besar. Semoga.

Pekanbaru, 15 Januari 2024

Tinggalkan komentar